Sunday, December 17, 2006

KHA serta implementasinya di Indonesia dan UUPA


 Siapakah yang dimaksud Anak dalam KHA?  Siapakah yang dimaksud Anak dalam UUPA? Bagaimana ketentuan pidananya?


Konvensi  Hak-hak Anak
KHA adalah perjanjian-perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hak Anak
Siapakah yang dimaksud Anak dalam KHA?
Manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan nasional
Untuk bayi dalam kandungan, ada 2 pendapat, yaitu termasuk dan tidak dalam kategori anak karena terhitung sejak lahir hinggasebelum berumur 18 tahun
Dalam KHA tidak dikenal istilah remaja, yang ada hanya istilah anak
Apa beda Hak Anak dengan HAM?
Hak Anak berarti Hak Asasi Manusia untuk Anak. Dengan kata lain Hak Anak merupakan bagian integral dari HAM dan KHA merupakan bagian integral dari instrumen internasional di bidang HAM
Sudah ada HAM mengapa harus ada Hak Asasi untuk Anak ?
Karena anak mepunyai kebutuhan-kebutuhan khusus yang berhubungan dengan situasinya sebagai anak yang rentan, tergantung dan berkembang
Apa bedanya KHA dengan Deklarasi Hak Anak?
Konvensi bersifat mengikat secara yuridis dan politis sedang Deklarasi merupakan suatu pernyataan umum mengenai prinsip-prinsip yang bisa diterima bersama dan mengikat hanya secara moral
Apakah Indonesia juga terikat dengan KHA?
Ya, karena negara kita adalah Negara Peserta yang telah meratifikasi KHA
Ratifikasi dimaksud dinyatakan dalam Keppres No. 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 dan berlaku mulai 5 Oktober 1990
Indonesia menempatkan diri setara dengan hampir semua negara di dunia (192 negara) yang meratifikasi KHA, kecuali Amerika dan Somalia
Namun Indonesia masih mereservasi 7 pasal KHA yang membuat Indonesia tidak terikat pada ketentuan-ketentuan yang direservasi tersebut, yaitu pasal 1, 14, 16, 19, 21, 22 dan 29
 KHA mempunyai 4 prinsip,  yaitu :
  1. Non diskriminasi
  2. Yang terbaik bagi anak
  3. Kelangsungan hidup dan perkembangan anak
  4. Penghargaan terhadap pendapat anak
Tahun-tahun penting dalam sejarah perkembangan KHA
1923 Eglantyne Jebb (pendiri Save the Children) membuat rancangan Deklarasi Hak Anak
1924 Deklarasi Hak Anak diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa
1948 Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal HAM
1959 PBB mengadopsi Hak Anak untuk kedua kalinya
1979 Tahun Anak Internasional. Suatu Kelompok Kerja dibentuk untuk membuat rumusan KHA
1989 KHA diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November
1990 Konvensi Hak Anak mulai berlaku sebagai hukum internasional pada tanggal 2 September 
Isi KHA
KHA merupakan instrumen internasional di bidang HAM degan cakupan hak yang paling komprehensif karena merupakan satu-satunya konvensi yang mencakupi baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sekaligus
Terdiri atas 54 pasal
Berdasarkan strukturnya, KHA dibagi menjadi 4 bagian, yaitu :
  1. Preambule (Mukadimah) : berisi konteks KHA
  2. Bagian Satu (Pasal 1-41) : mengatur hak bagi semua anak
  3. Bagian Dua (pasal 42-45) : mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan KHA
  4. Bagian Tiga (Pasal 46-54) : mengatur masalah pemberlakuan Konvensi
Berdasarkan isinya, setidaknya ada 4 cara mengkategorisasikan KHA :
  1. Kategorisasi berdasarkan konvensi induk HAM, dikatakan bahwa KHA mengandung :
(1)    Hak-hak sipil dan politik
(2)    Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
2. Ditinjau dari sisi kewajiban Negara melaksanakan KHA dan orang dewasa yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak anak, maka ada 3 kata kunci yang dapat dipakai sebagai jembatan untuk memahami KHA, yaitu :
(1)    Penuhi (fulfill)
(2)    Lindungi (protect)
(3)    Hargai (respect) 
3. Berdasarkan cakupan hal yang terkandung dalam KHA, yaitu :
(1)    Hak atas kelangsungan hidup
(2)    Hak untuk berkembang
(3)    Hak atas perlindungan
(4)    Hak untuk bepartisipasi dalam kehidupan masyarakat
4. Menurut cara pembagian yang dirumuskan oleh Komite Hak Anak PBB, mengelompokkan KHA menjadi 8 kategori  : :
1)      Langkah-langkah implementasi umum
2)      Definisi anak
3)      Prinsip-prinsip umum
4)      Hak sipil dan kemerdekaan
5)      Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif
6)      Kesehatan dan kesejahteraan dasar
7)      Pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya
8)      Langkah-langkah perlindungan khusus 
Pihak-pihak yang terkait dengan KHA
Pihak-pihak yang terkait dengan KHA pada dasarnya meliputi :
  1. Anak sebagai pemegang hak
  2. Negara sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi hak anak
Pihak orang tua dan masyarakat pada umumnya mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan hak anak
Peran Negara dalam KHA
Pemerintah (dengan persetujuan legislatif) mempunyai mandat untuk bisa mewakili Negara sejak ratifikasi
Pada tahap implementasi, Pemerintah (dengan persetujuan legislatif) memegang mandat untuk mengatur alokasi anggaran untuk mengurangi jumlah keluarga miskin (agar keluarga dapat menjalankan tanggungjawabnya guna memenuhi hak anak), untuk pendidikan dasar, kesehatan dan kesejahteraan dasar serta untuk program pemulihan bagi anak yang mengalami kesulitan
Pemerintah (bersama legislatif dan/atau yudikatif juga memegang otoritas untuk membuat, mengubah atau mereview undang-undang, Pemerintah sendiri dapat merumuskan peraturan dan kebijakan administratif. Dan Pemerintah (bersama yudikatif) yang memegang otoritas untuk menegakkan peraturan dan perundangan
Pada tingkat internasional, Pemerintah memegang otoritas untuk membuat perjanjian bilateral/multilateral dengan negara lain, misalnya untuk membuat perjanjian ekstradiksi bagi pelaku tindak kejahatan terhadap anak, untuk mencari bantuan keuangan atau pinjaman yang dialokasikan untuk progam imunisasi aau untuk peningkatan kesejahteraan anak
Pada tahap pelaporan, Pemerintahlah yang mempunyai wewenang untuk membuat laporan kepada Komite Hak Anak
Peran masyarakat dalam KHA
Masyarakat, terutama diwakili oleh LSM, telah memberikan kontribusi yang besar sejak perumusan rancangan KHA. KHA menjadi satu-satunya dokumen internasional di bidang HAM yang secara eksplisit mengakui peran masyarakat sipil, baik dalam implementasi, pemantauan maupun pelaporan KHA.
Di Indonesia, masyarakat dapat berperan dalam melakukan lobi dan advokasi agar pemerintah berseda mencabut reservasinya.
Langkah-langkah implementasi umum
Setiap negara yang meratifikasi KHA, berkewajiban melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalam KHA termasuk ketentuan-ketentuan mengenai pemenuhan hak anak yang tercakup didalamnya
Langkah-langkah implementasi umum adalah langkah-langkah umum yang seharusnya diambil negara peserta untuk meningkatkan kondisi anak di negara yang bersangkutan
Langkah-langkah implementasi umum antara lain meliputi :
  1. Niat untuk menarik reservasi
  2. Upaya menyesuaikan legislasi nasional terhadap prinsip dan ketentuan KHA
  3. Upaya perumusan strategi nasional bagi anak secara komprehensif mengacu pada kerangka KHA berikut penetapan tujuan-tujuannya
  4. Penerjemahan KHA ke dalam bahasa nasional dan bahasa daerah serta penyebarluasan KHA
  5. Penyebarluasan laporan yang disiapkan oleh Pemerintah berikut kesimpulan dan rekomendasi yang dberikan oleh Komite Hak Anak terhadap laporan Pemerintah, dll
Implementasi KHA di Indonesia

Sumber :  Komentar terhadap Laporan Periodik Pertama Pemerintah Indonesia kepada Komite Hak Anak PBB (periode 1993 – Juni 2000). Disiapkan oleh M. Farid, dkk, untuk Koalisi Nasional Pemantau Hak Anak, 2003
LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTASI UMUM
Pemerintah masih lamban dalam menempuh upaya serius guna merealisasikan komitmen-komitmennya, yaitu :
Untuk mencabut reservasi tujuh (7) pasal yang dibuat pada saat ratifikasi KHA
Meningkatkan instrument ratifikasi KHA dari Keputusan Presiden menjadi Undang-undang
Definisi Anak
Pemerintah meresevasi Pasal 1 KHA
Belum ada langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah untuk meminimalkan perbedaan batas umur kedewasaan di berbagai bidang (dengan meningkatkan batas umur yang rendahdan mengurangi batas umur yag tinggi agar berbagai batas umur kedewasaan tersebut berada di kisaran “batas universal” 18 tahun). Lebih buruk lagi, batas umur pertanggungjawaban kriminal, melalui UU No. 3/1997, ditetapkan 8 tahun (batas umur pertanggungjawaban pidana) hingga 21 tahun (perdata)
Perbedaan batas umur kedewasaan untuk menikah antara perempuan dan laki-laki masih diskriminatif, yaitu 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
HAK-HAK SIPIL DAN KEBEBASAN
Pemerintah masih mereservasi pasal 14 dan 16
Menyangkut pasal 7 mengenai hak anak atas identitas, Pemerintah telah gagal membuat pencatatan kelahiran menjadi sesuatu yang relevan bagi kelangsungan hidup anak. Faktanya, pencatatan kelahiran di Indonesia tidak dikaitkan dengan pelayanan dan perlindungan yang diberikan oleh Negara, dan inilah yang menjadi penyebab utama rendahnya permintaan atas pencatatan kelahiran.
Dikuatirkan, pencatatan kelahiran menjadi beban berat bagi orang tua, baik secara financial maupun untuk memenuhi persyaratan-persyaratan administrative guna mencatatkan kelahiran anak-anak mereka
Pemerintah gagal membuat sebuah legislasi baru yang komprehensif dan menyatu guna menggantikan bebagai ordonansi peninggalan pemerintah colonial yang bersifat diskriminatif. Idealnya, pencatatan kelahiran dibuat non-diskriminatif, diberikan secara cuma-cuma dan dikaitkan dengan pelayanan dan perlindungan publik.
Pengesahan UUPA tidak membawa perubahan bagi praktek pengenaan tarif dalam pencatatan kelahiran walaupun ditentukan bahwa pencatatan kelahiran haruslah bebas biaya (pasal 28 ayat 3) karena UU ini dikalahkan oleh perundangan menyangkut otonomi daerah, yakni UU No. 22/1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
LINGKUNGAN KELUARGA DAN PENGASUHAN ALTERNATIF
Pemerintah masih mereservasi pasal 19 dan 21
Untuk masalah anak jalanan, ketiadaan pendekatan programatik khususnya dalam penanganan re-integrasi social bagi anak jalanan yang tidak memiliki rumah/keluarga. Reintegrasi anak ke kehidupan masyarakat melalui pemberian KTP adalah mutlak guna menghindarkan anak dari kemungkinan menjadi drop-out sosial selamanya
PENDIDIKAN, WAKTU LUANG DAN KEGIATAN BUDAYA
Pemerintah masih mereservasi pasal 29 mnyangkut tujuan pendidikan
Walaupun sebagian dari tujuan pendidikan sebagaimana dikandung dalam pasal 29 KHA telah diadopsi ke dalam UU mengenai Sistim Pendidikan Nasional yang telah disahkan, namun UU ini belum sepenuhnya selaras dengan pasal 29 KHA
Pemerintah gagal untuk mengambil langkah-langkah kongkrit hingga batas sumberdaya maksimum yang memungkinkan guna pencapaian bertahap pendidikan dasar yang wajib dan gratis. Pada kenyataannya, perundangan menyangkut otonomi daerah (1999) telah menghambat jalan kea rah pemenuhan hak dasar ini, walaupun amandemen UUD’45 dan UU mengenai Sistim Pendidikan Nasional mengamanatkan jaminan alokasi anggaran minimum.
PENGUNGSI ANAK
Pemerintah masih mereservasi pasal 22
Sangat prihatin dengan nasib anak-anak yang menjadi pengungsi secara internal maupun nasib pengungsi dari Timor Timur. Pemerintah tidak mengungkapkan fakta bahwa beberapa pengungsi anak dari Timor Timur sebenarnya diselundupkan ke Indonesia dan Pemerintah gagal memberikan kontribusi bagi pemulangan mereka
ANAK DALAM SITUASI KONFLIK BERSENJATA
Keprihatinan mendalam mengenai nasib anak-anak akibat konflik di Timor Timur pasca referendum, di Aceh, di Maluku dan dimanapun yang terjadi di Indonesia. Ditengarai banyak diantara mereka yang terlibat langsung dalam permusuhan, khususnya di Maluku. Terdapat juga indikasi bahwa anak-anak terlibat tidak langsung dalam permusuhan. Namun lebih banyak lagi yang menjadi korban dari berbagai konflik tersebut. Diharapkan upaya yang lebih serius dari Pemerintah Indonesia guna memberikan perlindungan yang lebih memadai kepada anak-anak yang berada dalam situasi konflik, khususnya dalam konflik berkepanjangan yang berkecamuk di Aceh sebagai akibat dari keadaan darurat yang diberlakukan.
ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM
Ada langkah progresif melalui pegesahan UU No. 12/1995 mengenai Pemasyarakatan dan UU No. 3/1997 mengenai Peradilan Anak.
Akan tetapi UU No 3/1997 belum sepenuhnya sejalan dengan KHA dan dengan standar-standar internasional yang relevan lainnya. Standar-standar yang terkandung dalam pasal 40 ayat 2 butir b (ii)-(iv) serta pasal 37 (b), misalnya belum tercakup dalam UU ini.
Batas umur pertanggungjawaban pidana yang ditetapkan dalam UU ini, yakni 8 tahun, dianggap terlalu rendah. Batas ini bahkan lebih rendah disbanding dengan batas umur pertanggungjawaban pidana yang telah ada sebelumnya yang terdapat dalam KUHP, yaitu 16 tahun – walaupun hanya berlaku pada pidana ringan.
Sangat disesalkan, bahwa batas umur yang ditetapkan dalam UU no. 3/1997 yang rendah itu tidaklah membebaskan anak-anak yang berumur kurang dari 8 tahun benar-benar bebas dari penyelidikan pidana.
Hal yang sangat tidak masuk akal adalah bahwa UU No. 3/1997 juga mengintroduksi dalam ketentuan pidananya, pidana denda bagi anak yang terbukti melakukan pelanggaran pidana. Seorang anak, dengan sendirinya, harus dianggap tidak punya kemampuan untuk memperoleh pendapatan dan karena itu tidak boleh dikenai sanksi denda. Jika diasumsikan bahwa orang tuanya-lah yang akan membayar denda, maka hal itu bertentangan dengan prinsip dasar mengenai pertanggungjawaban individual dalam masalah pidana.
EKSPLOITASI EKONOMI ANAK, TERMASUK PEKERJA ANAK
Ada ratifikasi terhadap Konvensi ILO 138 dan 182 dan pengesahan RAN Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Bagi Pekerja Anak
Prihatin dengan anak-anak yang terlibat dalam underground economy seperti pelacuran atau mereka yang terlibat dalam putting out system atau yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, karena tidak muncul di dalam statistic dan dengan demikian mereka berada dalam situasi yang tidak terpantau.
Pemerintah harus memberi perhatian terhadap kekerasan yang dilakukan oleh aparat Negara terhadap anak jalanan. Kasus-kasus perlakuan kekerasan atau perlakuan brutal yang dilakukan oleh polisi pamong praja atau oleh POLRI termasuk penangkapan semena-mena selama operasi pembersihan berlangsung sedemikian luas dan seringnya sehingga anak-anak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang normal.
EKPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL TERHADAP ANAK
Pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam Kongres Stockholm, dan telah melakukan langkah-langkah tindak lanjut, meliputi :
Ratifikasi konvensi ILO 128 dan pengesahan Rencana Aksi Nasional yang relevan
Terlibat pada Kongres Yokohama dan pertemuan2 regional yang terkait, dan telah mensahkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksloitasi Seksual Komersial Anak dan Rencana Aksi Nasional Peghapusan Perdagangan Manusia, khususnya perempuan dan anak
Estimasi jumlah Anak yang dilacurkan adalah 30% dari jumlah pekerja seks di Indonesia (tidak termasuk yang di luar negri), dan jumlah yang dikutip yakni antara 40 – 70 ribu adalah perkiraan konservatif
Pemerintah belum melakukan Perlindungan yang memadai terhadap anak.  Tidak dilakukan penegasan dalam legislasi, bahwa anaka-anak yang dilacurkan adalah korban bukannya pelaku kejahatan, demikian juga di UUPA.   
Adanya kriminalisasi anak-anak yang terlibat dalam prostitusi
UUPA tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai isu prostitusi
KEKERASAN  SEKSUAL TERHADAP ANAK
Pemerintah masih mereservasi pasal 9 KHA padahal banyak kasus kekerasan seksual terbukti dilakukan oleh orang tua/wali khususnya dari pihak ayah atau dari antara sanak keluarga
Adanya estimasi bahwa 60% dari korban perkosaan adalah anak-anak nyata-nyata menunjukkan tingkat seriusnya resiko yang dihadapi anak-anak sebagai korban kekerasan seksual.
Namun kontradiksinya, perlindungan yang diberikan oleh Negara sangat jauh dari memadai, karena :
Batas umur “statutory rape” yang dinyatakan dalam KUHP sangatlah rendah, yakni 12 tahun (pasal 287 ayat 2). Jika diasumsikan bahwa batas umur kematangan seksual untuk anak perempuan  (ditarik dari UU Perkawinan No. 1/1974) adalah 16 tahun, maka ketentuan dari KUHP secara efektif meninggalkan anak-anak yang berumur 12-15 tahun dari perlindungan terhadap “statutory rape”
Sanksi pidana terhadap mereka yang melakukan “statutory rape” ditetapkan terlalu rendah (paling lama 9 tahun penjara), bahkan lebih rendah dari sanksi pidana untuk “rape” (paling lama 12 tahun penjara)
Konsep “statutory rape” dalam KUHP tidak dinyatakan secara tegas. Halini, bersama dengan ketiadaan pemahaman di kalangan penegak hokum tentang asumsi –asumsi dasar menyangkut “statutory rape”, membuat anak-anak menjadi korban kekerasan seksual bahkan jika umur mereka kurang dari 12 tahun sering mengalami “kekerasan seksual” dalam bentuk lain selama proses BAP dan selama proses persidangan karena jenis-jenis pertanyaan yang diajukan oleh polisi (BAP) dan hakim (persidangan) pada umumnya berangkat dari asumsi anak-anak itu  sudah matang secara seksual.
KUHP bersifat diskriminatif karena tidak mengakui kerawanan anak laki-laki terhadap kekerasan seksual pada umumnya atau terhadap “statutory rape” khususnya
Ketiadaan UU perlindungan korban dan saksi dan eksposure langsung secara tatap muka yang harus dialami anak-anak yang menjadi korban selama persidangan membuat anak korban kekerasan seksual mengalami semacam kekerasan mental yang merugikan posisi mereka
Pemerintah sejauh ini tidak menyediakan program pemulihan dan reintegrasi sosial bagi anak-anak korban kekerasan seksual
Perdagangan Anak
n  Pemerintah telah menandatangani Protocol to Prevent, Suppres, and Punish Trafficking in Persons Especially Woman and Children Supplementing to the UN Transnasional Organized Crime (th 2000), dan dikuti oleh pengembangan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Manusia dan juga telah menyusun RUU anti perdagangan manusia

UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NO 23/2002
UUPA terdiri dari 14 bab, 93 pasal
Bab I     : Ketentuan Umum
Bab II   : Asas dan Tujuan
Bab III  : Hak dan Kewajiban Anak
Bab IV  : Kewajiban dan Tanggungjawab
Bab V   : Kedudukan Anak
Bab VI  : Kuasa Asuh
Bab VII                : Perwalian
Bab VIII               : Pengasuhan dan Pengangkatan Anak
Bab IX  : Penyelenggaraan Perlindungan
Bab X   : Peran Masyarakat
Bab XI  : Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Bab XII :  Ketentuan Pidana
Bab XIII               :  Ketentuan Peralihan
Bab XIV: Ketentuan Penutup
Latar Belakang
Kondisi Perlindungan Anak di Indonesia
Indonesia telah meratifikasi KHA dengan kepres No 36/1990
Memberi jaminan dan kepastian hukum dalam perlindungan terhadap hak-hak anak
Menegaskan adanya kewajiban bagi negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua dan anak
Hubungan antara Hak dengan Perlindungan Anak
UUPA memberikan peralatan yang kuat untuk melaksanakan KHA
UUPA adalah salahsatu bagian dari mengoperasionalkan KHA
UUPA adalah undang undang yang menjelaskan secara rinci tentang perlindungan anak
UUPA memberikan kerangka payung yang sangat bermanfaat untuk memberikan perlindungan bagi sebagian besar anak-anak yang rentan/rawan

Pengertian Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
Perlindungan Anak
Adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Yang wajib dan bertanggungjawab memberikan perlindungan kepada anak adalah negara dan pemerintah; masyarakat; orangtua dan keluarga
Penyelenggaraan Perlindungan
Asas : Pancasila, UUD 1945, dan Prinsip
-prinsip dasar KHA
Prinsip – prinsip KHA :
Non Diskriminasi
Kepentingan yang terbaik buat anak
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
Penghargaan terhadap pendapat anak
Hak Anak
Adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara
Hak Asasi Anak
Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan
Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orangtua
Hak mengetahui orangtuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orangtuanya sendiri
Dalam hal karena suatu sebab orangtuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 
Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial
Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan bakatnya
Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak yang menyandang cacat dan hak mendapatkan pendidikan khusus bagi anak yang memilki keunggulan
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi
Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri
Hak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat
Kewajiban Anak
Menghormati orang tua, wali dan guru
Mencintai keluarga, masyarakat dan teman
Mencintai tanah air, bangsa dan negara
Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya
Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia
Ketentuan Pidana dalam UUPA
Dengan sengaja melakukan diskriminasi terhadap anak atau melakukan penelantaran terhadap anak, dapat dipenjara 5 tahun penjara
Mengetahui dan sengaja membiarkan anak yang memerlukan pertolongan dapat dipenjara 5 tahun penjara
Melakukan pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat di hukum 5 tahun penjara
Melakukan transplantasi atau pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh anak scara melawan hukum dapat dihukum 10 tahun penjara.  Melakukan jual beli organ tubuh dapat dipenjara 15 tahun
Membujuk anak untuk memilih agama lain, memperalat anak untuk kepentingan militer dapat dipenjara paling lama 5 tahun
Melakukan eksploitasi ekonomi maupun seksual terhadap anak dapat dihukum 10 tahun penjara
Melibatkan anak dalam masalah narkotika dan atau psikotropika dapat dihukum paling lama 20 tahun dan paling sedikit 5 tahun penjara
Melibatkan anak dalam masalah alkohol dan zat aditif lainnya dapat dihukum paling lama 10 dan paling sedikit 2 tahun penjaranjara

Sumber: 
Materi Pelatihan Peningkatan Kapasitas Jurnalis Berperspektif Anak yang digelar AJI Indonesia-Unicef-AJI Kota Semarang, 20-22 Nopember 2006
Disampiakan Emmy LS (Koordinator Presidium Nasional Indonesia ACTs/Sekretaris Dewan Pendiri Yayasan KAKAK Solo)

No comments: