Saturday, March 26, 2005

Silang Pendapat tentang Serikat

Serikat pekerja memang bukan barang baru, tapi tidak otomatis dapat diterima. Apalagi untuk komunitas pekerja pers. Ada banyak tantangan di dalamnya.

Dalam diskusi "Serikat Pekerja Bagi Pemilik Media dan Pekerja Pers" yang digelar AJI Kota Semarang di Hotel Siliwangi, Jl. Soegiyapranata, Sabtu, 19 Maret 2005, pembicara dan peserta berusaha saling memahami serikat pekerja pers. Diskusi mengalir, hingga ulasan mengenai etik dan profil pekerja pers pun muncul.

Pembicara pertama adalah Suwarjono, Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia, dan kedua, Nur Fuad, Yayasan Wahyu Sosial (Yawas) Semarang. Sementara, peserta sengaja dibuat terbatas, hanya 15 orang (jurnalis dan redaktur).

Jono, panggilan akrab Suwarjono, yakin serikat pekerja (SP) sangat penting. Di era industrialisasi, masalah ketenagakerjaan kian rumit. Kahadiran SP diharapkan bisa menjadi alat negosiasi dengan perusahaan.

SP sering berkonotasi negatif, karena motif pendiriannya tak jauh dari masalah. "Biasanya, saat ada masalah, karyawan ramai-ramai bikin SP. Padahal lebih baik, SP didirikan saat perusahaan tengah sehat-sehatnya," kata Jono.

Pertumbuhan SP pers sangat lambat. Lahir satu atau dua tahun setelah reformasi 1998. Jauh ketinggalan dibanding perusahaan manufaktur. Ini disebabkan, pers berhadapan dengan kekuasaan. dan setelah reformasi, pers berhadapan dengan manajemen.

SP pers di Indonesia baru 20-an buah. Namanya beda-beda, seperti Majelis Karyawan, Perkumpulan Karyawan ataupun Dewan Karyawan, Serikat karyawan, dan lain-lain. Isu SP pers tidak melulu soal upah atau gaji, tapi juga kegiatan perusahaan, materi berita, saham, hingga kenaikan oplah atau rating perusahaan.

"Di daerah, SP pers belum banyak peminat," tandas Jono yang mengaku berkeliling Solo, Medan, Surabaya, dan kota-kota besar lain selama 3-4 tahun belakangan.

Nur Fuad menambahkan, untuk mendirikan SP, jurnalis sepertinya takut dengan manajemen. Manajemen bisa dengan mudah memecat awak medianya yang dianggap meminta macam-macam. Sebab itu, jurnalis tidak mau repot-repot mendirikan SP.

"Mereka merasa cukup senang jika telah mendapatkan kartu pers, karena dengan kartu tersebut mereka dapat “mencari nafkah” dengan bersandar pada narasumber manapun saat dia bertugas meliput berita," sindirnya.

Kecenderungan pers saat ini semakin beralih menjadi “pers industri” daripada “pers politik”. Kemungkinan munculnya sengketa perburuhan akan semakin besar. Hal ini disebabkan oleh relasi-relasi yang terbangun antara pekerja pers dengan pekerja pers didominasi konteks hubungan industrial, kemudian membentuk pola hubungan buruh dan majikan yang eksploitatif.

Beberapa peserta langsung angkat bicara. "Saya sangat salut terhadap AJI yang tidak henti-hentinya mengkampanyekan SP, namun saya sangat pesimis sekali bisa mewujudkannya," kata seorang peserta.

Peserta lainnya mengatakan,  SP belum menjadi isu seperti “bola Salju” yang semakin lama semakin membesar, karena jurnalis tidak mampu konsolidasi karena terbentur tugas harian. Dukungan dari pihak lain juga lemah.

Dari diskusi ini, peserta sepakat SP didengungkan bukan untuk melawan manajemen, perlu strategi lunak agar SP lebih bisa diterima, dan terakhir hak normatif jurnalis tidak hanya kesejahteraan, melainkan pengakuan atau penghargaan atas kerja-kerja kejurnalistikan.

No comments: