Tuesday, May 3, 2005

Media dalam Politik Lokal

Sepanjang tahun 2005 akan digelar pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) di Jawa Tengah. Pegiat media harus hati-hati, karena rentan dimanfaatkan. Tapi, kadang, ternyata media malah memanfaatkan momen tersebut.

Itulah salah satu isi Diskusi "Kebebasan Pers dalam Pusaran Politik Lokal" yang digelar AJI Kota Semarang di sekretariat, Jl. Kelinci, 3 Mei 2005. Diskusi ini digelar untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia.

Pengantar diskusi yang dihadiri 35 orang ini adalah Andreas Pandiangan (Dosen Unika Soegiyapranata Semarang), Agus Siswanto (Tim Sukses Calon Walikota/Wawali Soediro-Musyafir), dan Sohirin (Jurnalis Tempo). M. Hudallah, anggota AJI, menjadi pemandu.

Agus menyatakan, di mata publik, track record calon pilkada kadang tidak diketahui. Sebab itu, mereka butuh media massa. Selain itu, media juga diarahkan untuk penggalangan massa. Bentuknya bisa bermacam-macam, bisa iklan atau pemberitaan.

"Tentu saja, dari kacamata calon atau tim sukses, pemberitaan yang diinginkan ya yang menguntungkan," katanya.

Di lain pihak, media atau jurnalis punya tanggung jawab sosial. Mereka  harus memberitakan secara jujur, obyektif, dan fair.

"Ini menyebabkan adanya tarik ulur kepentingan," kata Sohirin.

Sementara Andreas menandaskan, meski sah mencari untung, media harus mengutamakan nilai-nilai yang diembannya, terutama berkaitan dengan pendidikan politik ke publik. Kalau tidak, media bisa terjerumus ke dalam kepentingan calon tertentu.

Seorang peserta diskusi menimpali, di tingkat praktik, media tidak prenah lepas dari kepentingan kapital (modal). "Saya merasa tidak adil apabila berita yang bagus, jujur ternyata tidak keluar. Kadang kami, wartawan merasa berita yang kami buat terlalu tinggi atau memang kalah dengan kuasa owner ketika kolom berita habis untuk iklan," kata wartawati media lokal ini.

"Ada seorang teman redaktur olah raga yang mengirimkan sms mengenai olah raga yang menyinggung seorang calon, begitu ketahuan dia diturunkan menjadi seorang wartawan biasa," tambahnya.

Peserta diskusi lainnya menambahkan,  pada situasi tertentu, perilaku orang media cukup meresahkan. "Kalau tidak ada uang, tidak ada berita. Kadang media melakukan kebohongan besar. Kejadian kecil dibesar-besarkan, dan yang besar dikecil-kecilkan," paparnya.

Media yang bentuknya kian industrial, memang membawa konsekuensi. Dimungkinkan, ada 'perselingkuhan' antara narasumber dan jurnalis, korporasi dan perusahaan media, dan benturan nilai atau kepentingan.

No comments: