Friday, August 12, 2011

Wawancara Soal Umar Patek? Wani Piro...

Informasi seputar kehidupan Umar Patek di Pemalang dijadikan lahan bisnis oleh sanak keluarganya. Mereka meminta uang untuk memberikan informasi dan komentar terkait Umar Patek. "Mau minta komentar terkait Umar? Berani bayar berapa?"

Komentar di atas acap tercetus warga Jalan Semeru, Kelurahan Mulyoharjo, Pemalang, saat Tempo mencoba meminta komentar sanak keluarga Umar Patek atau Hisyam yang kembali ke Tanah Air, Rabu malam, 10 Agustus 2011.

Informasi Umar Patek bagi warga Jalan Semeru yang mayoritas teman sepermainan dan satu klan dengannya dalam keluarga besar Bawasir sangatlah mahal. Tak tanggung-tanggung mereka berani menentukan harga seiring lama penawaran.

"Cepek dulu untuk komentar saya yang saudara jauh, kalau ketemu Said atau Syarif (saudara kandung Hisyam) tambah lagi. Ini biaya pulsa," ujar Farid Bawazir, salah seorang teman kecil dan saudara Umar Patek saat masih tinggal di Jalan Semeru dulu. "Situ kerja, saya juga cari duit," ujar Farid menambahkan.

Bak seorang broker, Farid pun masih menawar harga lebih tinggi dengan ketentuan semakin lama proses wawancara dan sumber yang jelas. "Ini baru ngobrol dengan Said, itu belum Syarif, kakak Hisyam, yang lebih tahu kehidupannya," katanya.

Farid memang memegang kendali dalam proses pencarian informasi. Ia merupakan satu-satunya warga Jalan Semeru yang masih menyimpan nomor kontak dan alamat keluarga Umar Patek yang sekarang tinggal di Jawa Timur. Ia pun membuktikan saat menelepon salah seorang adik Umar Patek, Said, dan pembuktian pengakuan.

Bagi Farid, nilai informasi yang ia tawarkan tak lepas dari pengalaman Azam Ba'abut, kakak kandung Dulmatin, yang pernah mendapatkan sejumlah uang saat diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi nasional. Kondisi ini sengaja dimanfaatkan oleh Farid yang enggan mengakui pekerjaan kesehariannya.

Meski masih mengharap imbalan, Farid memberikan sedikit komentar terkait penahanan Umar Patek di Jakarta oleh kepolisian. "Saya enggan menjenguk, urusannya bisa ribet, ada cek DNA dan lain sebagainya, apa lagi saya saudara jauh," katanya.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang Renjani Puspo Sari menilai fenomena penjualan informasi dari narasumber ini aneh, apalagi untuk wawancara berita hard news dan perlu diketahui publik. Menurut Renjani, fenomena membayar narasumber ini terjadi pada media TV untuk talk show. "Itu pun ada standar nominal dan ketentuan-ketentuan khusus," ujar Renjani.

Bahkan untuk narasumber tertentu seperti pejabat publik, misalnya, mereka biasanya tidak dibayar karena tugas mereka menyiarkan kepentingan publik. Namun bila narasumber adalah warga miskin, beberapa media menyebutnya sebagai ongkos transport dengan nilai yang rasional

"Tapi bila semakin besar, apalagi bila sampai terjadi tawar-menawar justru akan mempengaruhi independensi berita," katanya.

Renjani menilai jika ada media yang melakukan praktek membiasakan membayar narasumber, bahkan dengan jumlah uang tak rasional, sama artinya dia menutup akses informasi dari media lain sehingga publik tidak bisa mendapatkan informasi yang berimbang.

EDI FAISOL

Sumber: Tempo Interaktif
Kamis, 11 Agustus 2011 | 13:07 WIB

No comments: