Tuesday, April 27, 2010

Pakar: Tata Ruang Abaikan Aspek Lingkungan

Pati, Pakar lingkungan dari Universitas Diponegoro Semarang Sudharto P Hadi mengatakan, penataan ruang cenderung mengedepankan aspek fisik, namun mengabaikan aspek sosial budaya dan lingkungan.

"Pasalnya, aspek sosial budaya dianggap tak menghasilkan nilai ekonomis dan tak bisa dihitung. Demikian pula aspek lingkungan baru diketahui hasilnya dalam jangka waktu yang panjang," ujar Sudharto P Hadi, yang juga Guru Besar Ilmu Lingkungan Undip Semarang, ketika menjadi pembicara pada kegiatan Workshop Jurnalisme Lingkungan dengan tema Manusia, Tata Ruang, dan Lingkungan Hidup di Desa Kasihan, Kecamatan Sukolilo, Pati, Jateng, Minggu (25/4).

Saat ini, kata dia, penataan ruang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sehingga ruang hanya untuk pertumbuhan ekonomi. "Apalagi, kemajuan suatu daerah hanya dilihat dari penambahan jumlah pendapatan asli daerah (PAD) dan produk regional bruto. Semakin tinggi maka semakin bagus," ujarnya.

Selain itu, penataan ruang model sekarang juga tidak menyajikan informasi tentang daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta kurang memperhatikan keragaman kepentingan. "Kalaupun kawasan Sukolilo dijadikan sebagai kawasan industri harus dihitung keuntungan dan kerugian yang timbul nantinya. Selama ini, penyusunan tata ruang tidak pernah menghitungnya," ujarnya.

Bahkan, ujarnya, penyusuanan tata ruang 2010 di tanah air cukup krusial, karena belum tentu didukung daya dukung dan daya tampung lingkungan. Berdasarkan UU Nomor 26/2007 tentang Tata Ruang, dijelaskan bahwa ruang harus berasaskan bagi semua kepentingan secara terpadu berdaya guna dan berhasil guna, selaras dan seimbang dan berkelanjutan.

Sementara itu pada Pasal 19, dijelaskan bahwa penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional memperhatikan daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan. Pada UU nomor 32/2009, daya dukung lingkungan, dijelaskan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Sedangkan daya tampung lingkungan, yakni kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/ atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

Ia menganggap, penataan ruang di Indonesia didorong oleh kekuatan pasar. "Hampir semua kabupaten/kota memiliki orientasi demikian," ujarnya.

"Oleh karena itu, sejumlah pihak memunculkan lelucon, tata ruang diplesetkan menjadi tata uang," ujarnya di hadapan sejumlah peserta workshop yang diselenggarakan oleh Yayasan SHEEP (Society for Health, Education, Environment and Peace) Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang.

Untuk meminimalisasi kondisi tersebut, masyarakat harus memiliki kontrol dengan desakralisasi dokumen penataan ruang. "Selama ini, data tata ruang cukup sakral dan sulit diakses masyarakat, sehingga sulit memiliki data tersebut. Mulai sekarang, harus diubah dengan mengupayakan memiliki data tersebut," ujarnya.

Pada Pasal 60, UU Nomor 26/2007, dijelaskan dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang, menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang, dan memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.

"Pada peraturan tersebut, masyarakat punya hak untuk mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah," ujarnya.

Selain itu, kata dia, masyarakat juga berhak mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang kepada pejabat yang berwenang. "Tuntutan ganti rugi juga bisa diajukan kepada pemerintah dan / atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian," ujarnya. (Ant/OL-03)

Sumber: www.antarajateng.com
http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=28174

No comments: