Monday, July 3, 2006

Media dan Good Governance: Studi di Kabupaten Semarang

Tata pemerintahan yang baik memang sulit diwujudkan. Tapi tidak mustahil. AJI Kota Semarang dan Local Governance Service Programme (LGSP) mencoba mengukur hal itu di Kabupaten Semarang.

Metode yang digunakan adalah RSA (Rapid Survey Assesment)--penyebaran kuesioner dan wawancara, dan Focus Group Discussion (FGD). Kalangan yang terlibat adalah jurnalis, pemkab, ormas, dan LSM. Workshop final digelar di Ruang Rapat Bappeda Kabupaten Semarang di Ungaran, 29 Juli 2006.

Kalangan jurnalis menilai, kondisi pemerintahan belum baik. Indikasinya, sistem informasi  belum dikelola optimal dan akses informasi cukup sulit didapatkan. Adanya surat edaran Bupati yang mengharuskan sentralisasi informasi, dalam arti seluruh informasi dan komentar hanya bisa diakses dari satu pintu yaitu Humas Kabupaten Semarang justru makin mempersulit keadaan. Hal ini disebabkan pihak humas ternyata juga belum dilengkapi dengan basis data yang kuat serta kemampuan kehumasan yang memadai.

Kebijakan sentralisasi informasi itu juga melemahkan kapasitas kehumasan di dinas-dinas maupun kecamatan, sehingga tidak hanya informasi yang makin sulit didapat tapi juga berakibat munculnya persepsi buruk terhadap jurnalis yang sebetulnya lebih dipicu kehadiran para wartawan bodrek (tanpa media massa yang jelas dan cenderung hanya meminta uang-red).

Tentu saja hal ini membuat media sulit menyosialisasikan kebijakan hingga ke masyarakat desa di daerah pinggiran kabupaten. Transparansi dan kritik yang menjadi bagian dari good governance pun akhirnya menjadi sulit diwujudkan. Kurangnya kemampuan kehumasan –yang juga diartikan kemampuan meng­handle media– inilah yang menjadi faktor kedua yang paling banyak disorot  oleh wartawan.

Selain dua faktor yang lebih bersifat eksternal di atas, faktor lain yang mendapat perhatian khusus dari para jurnalis di Kabupaten Semarang adalah kurangnya kemampuan wartawan menerjemahkan apalagi menganalisis anggaran/APBD. Mulai dari klasifikasi atau pengenalan terhadap berbagai macam proyek pengadaan, proyek pembangunan dan sebagainya hingga ketidakmampuan mencium kemungkinan penyelewengan dalam penyusunan anggaran.

Seluruh wartawan di Kabupaten Semarang mengaku belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai analisis APBD dan 50 % di antaranya mengaku berusaha memahami soal anggaran dengan cara otodidak. Hal ini dampaknya sungguh besar, antara lain misalnya bisa dilihat dari hasil kuesioner dimana wartawan minim sekali dalam memberitakan mengenai korupsi di DPRD (17 %). Kurangnya kapasitas wartawan dalam menganalisis anggaran ini sesungguhnya berbanding terbalik dengan dokumen APBD yang justru menjadi salah satu dari sedikit dokumen yang mudah didapat wartawan.

Rekomendasi dari kegiatan ini, perlu adanya Pelatihan Analisis Budget/Anggaran yang menurut para wartawan merupakan kebutuhan yang sifatnya urgen, Training Procurement sebagai bagian dari usaha untuk dapat memahami struktur anggaran yang lebih kompleks, dan dialog antara wartawan dengan Humas/Pemkab Kabupaten Semarang untuk mulai mengurai kusutnya sistem informasi.

Keterangan
Indikator Good Governance
  • Wawasan ke Depan (visionary);
  • Keterbukaan dan Transparansi  (openness and transparency);
  • Partisipasi Masyarakat (participation);
  • Tanggung Gugat (accountability);
  • Supremasi Hukum (rule of law);
  • Demokrasi (democracy);
  • Profesionalisme dan Kompetensi (profesionalism and competency);
  • Daya Tanggap (responsiveness);
  • Keefisienan dan Keefektifan (efficiency and effectiveness);
  • Desentralisasi (decentralization);
  • Kemitraan dengan Swasta dan Masyarakat (private and civil society partnership);
  • Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (commitment to discrepancy reduction);
  • Komitmen pada Pasar yang Fair  (commitment to fair market);
  • Komitmen pada Lingkungan Hidup (commitment to environmental protection)

No comments: